Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan zama era
globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa
perburuhan juga memerlukan payung dalam berbagai produk perundang-undangan yang
dapat mengantisifasinya.
Sebelum Reformasi dalam pembaharuan
perundang-undangan perburuhan dan ketenaga kerjaan masalah penyelesaian
sengketa buruh masih memakai undang-undang lama antara lain :
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.
Didalam kedua produk
Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di
titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga
Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie,
dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini
dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan Undang-undang lama tersebut
tidak dapat lagi memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa
perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-undang lain seperti Undang-undang
Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Serikat Pekerja Nomor 21
Tahun 2000, dan Undang-undang penyelesaian perselisihan Industrial Nomor 2
Tahun 2004.
Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional
Hak Azasi Manusia
Undang-undang Hak Azasi Manusia
Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam
menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang
tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi
Manusia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat
diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h,
dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa
publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum
disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang
dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga)
golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga
kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan tergolong
sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka
peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi
Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang
memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan
dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”.
Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat
tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan
Penyelesaian perselisihan Hubungan
Industrial dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial memungkinkan penyelesaian sengketa
buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan.
- Penyelesaian Melalui Bipartie
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan
musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan
majikan. Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat
pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan
kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama.
Dalam perjanjian bersama atau
kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen
bersama dan merupakan perjanjian perdamaian.
- Penyelesaian Melalui Mediasi
Pemerintah dapat mengangkat seorang
Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi
penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang
Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7
(tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan
duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para
pihak tersebut.
Pengangkatan dan akomodasi mediator
ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian
bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian
perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
- Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator
yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga
Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala
persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para
pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima
penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator dapat memanggil
para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan
telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh
Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat.
Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
setempat tesebut.
- Penyelesaian Melalui Arbitrase
Undang-undang dapat menyelesaikan
perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk
ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31
ayat (1) berbunyi :
- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Cakap melakukan tindakan hukum
- Warga negara Indonesia
- Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
- Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
- Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
- Menguasai peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan
- Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Pengangkatan arbiter berdasarkan
keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih
Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar
kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik
yang menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat
diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut
didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau
putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut
dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap,
serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan
tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa
yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
Sebelum keluarnya Undang-undang
Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam
Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P.
Untuk mengantisipasi penyelesaian
dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan
zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai wadah peradilan Hubungan
Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan
Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan
:
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
- Hakim
- Hakim ad Hoc
- Panitera Muda, dan
- Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari
:
- Hakim Agung
- Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
- Panitera
Syarat-syarat untuk dapat diangkat
menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada
Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
- Warga negara Indonesia
- Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
- Berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
- Berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan
- Berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad
Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad
Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Hukum acara yang dipakai untuk
mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta
menuggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc
Ketenaga Kerjaan. Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam
masyarakat dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai
KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang
Undang-Undang Ketenagakerjaan .
DAFTAR PUSTAKA
Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian Hubungan
Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo
Parsada, Jakarta 2004.
—————- Undang-undang Pengadilan Hak Azasi Manusia,
2000 dan Undang-undang HAM 1999, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2001.
—————- Depnaker RI, Undang-undang No.2 Tahun 2004
Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat
Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004.
—————- Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Beserta penjelasannya, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2004.
—————- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Jurnal HAM
Vol.1 No.1, Oktober 2003, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003.
0 Comments